7 Ciri Khas Orang NU; Nomer 7 Masih Kontroversial
Sumber ilustari:Wikipedia, 7 Ciri Khas Orang NU |
Setiap organisasi, termasuk organisasi keagamaan, biasanya punya ciri khas. Tak terkecuali dari sisi pendukungnya, anggotanya, atau bahkan basis masyarakat yang berada di bawah naungannya. Begitupun dengan organisasi keagamaan terbesar sedunia, Nahdlatul Ulama. NU punya ciri khas secara keorganisasian, dan tentu juga punya ciri khas orang-orang yang menjadi anggota atau basis masyarakat yang berada di bawah naungannya. Di bawah ini adalah catatan murni penulis tentang 7 ciri yang dapat dijabarkan. Dari ketujuh ciri itu, mungkin nomer terakhir masih dianggap sebagai ciri yang kontroversial atau debatable.
Pendahuluan
Organisasi NU Dipandang Ortodoks
NU Menghargai Perbedaan
7 Ciri khas Warga NU
1. Lekat dengan sarung.
2. Lekat dengan Peci Hitam atau Peci Nasional.
"Menjadi Islam bukan berarti harus menjadi Arab. Identitas ke-Indonesia-an tak lalu lebih rendah dari identitas ke-Arab-Arab-an. Sehingga identitas ke-Indonesia-an tak lantas mesti sepenuhnya digeser oleh identitas Islam a la Arab".
3. Berbicara dengan bahasan kaumnya.
Dalam hal ini, orang-orang NU seringkali tak perlu menampakkan keIslamannya dari segi bahasa yang dipakai dalam keseharian. Orang NU kadang menghindari penggunaan bahasa arab dalam pergaulan keseharian atau bahkan dalam forum akademik. Hal itu dilakukan agar mempermudah orang lain dalam memahami agama. Melalui bahasa keseharian yang familiar dan ringan, orang NU mampu menampilkan Islam yang genuin dan bukan semata Islam yang ke-arabarab-an dari sisi bahasa.
Nyaris jarang menemukan orang-orang NU hatta Kiai atau ulamanya pun, menggunakan kata 'ana', 'antum', 'akhi', atau 'ukhti' untuk mengganti kata 'saya', 'anda', 'saudara', dan 'saudari'. Lebih dari itu, cenderung lebih terdengar kata-kata 'kula', 'panjenengan', 'sampeyan', 'abdi' dalam bahasa jawa dan sunda untuk kata-kata tersebut. Dan itu juga dipakai untuk istilah-istilah lain dalam percakapan keseharian warga NU.
Mungkin bahasa tak lebih dari sekedar bahasa. Namun cara berpikir di atas menandakan betapa orang NU menjunjung tinggi kesederhanaan dalam berbahasa di satu sisi, dan membumikan bahasa (baca: Islam) di sisi lain dengan pemilihan bahasa kaum dibanding bahasa Al-Qur'an dalam percakapan sehari-hari.
4. Mengadakan tahlilan.
Setiap kali warga NU wafat selalu diiringi oleh doa bersama yang disebut tahlilan. Tahlilan adalah ritual bacaan tahlil yang dibaca bersama-sama dengan bacaan lainnya oleh banyak orang demi mendoakan arwah orang yang meninggal tersebut. Biasanya dilaksanakan selama 7 hari dan lalu pada hari ke40, ke-100, dan haulan (setahun).
Dalam kepercayaan pra-islam datang ke Nusantara, orang yang wafat dipercaya masih berada di rumahnya selama 40 hari 40 malam. Semenjak kedatangan Islam dan penyebarannya oleh Walisongo, kepercayaan itu 'digubah' sedemikian rupa, diisi dengan kegiatan amaliyah positif berupa bacaan doa-doa yang disebut tahlilan.
Nyaris dapat dipastikan, orang-orang NU mengamalkan tradisi tahlilan tersebut. Meski berdasarkan hadits bahwa doa yang utama bagi mayit adalah dari anak cucunya yang soleh, namun orang NU berargumen bahwa masyarakat yang mendoakan si mayit yang hadir dalam acara tahlilan juga atas izin dan permohonan anak cucu mayit untuk mendoakan orangtua mereka. Argumen itu kira-kira sebanding doa anak cucu mayit melalui bantuan para tetangga sanak saudara si mayit.
5. Membaca Solawat dan memperingati maulid Nabi Muhammad Saw.
Membaca solawat adalah sunah yang jelas landasannya, namun melantunkan solawat dengan berbagai macam versi bahasa, berbagai macam lagu, berbagai macam syair, serta bahkan diiringi musik adalah ciri khas warga NU. Tak ada hari tanpa solawat. Hendak solat pupujian solawat, menimang bayi membaca solawat, menanak nasi dan memasak membaca solawat. Itulah orang NU.
Mengenai Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Orang NU selalu melakukannya. Memang tak berdasar pada hadits apalagi Al-Qur'an, namun Rasa warga NU dalam menghormati junjungannya begitu besar. Sehingga rasa cinta dan mahabbah mereka itu membludak menjadi konkrit dalam perayaan peringatan tersebut. Adalah wajar sekaligus adab saat para pecinta memuji dan memperingati yang dicintainya dengan meriah sembari memungut jejak-jejak teladan terus menerus yang bermanfaat bagi kehidupan dari sang Rasul Nabi Muhammad Saw.
6. Adanya Sesajen
Sesajen adalah pelbagai makanan atau sejenisnya yang disediakan untuk menghormati hal-hal gaib. Itu pengertian yang diambil dari kepercayaan atau keyakinan sebelum datangnya Islam. Namun dalam perkembangannya, Walisongo tak lantas menghilangkan tradisi sesajen, tapi memolesnya dengan cara islam.
Sesajen dapat dengan mudah ditemukan di acara-acara orang-orang NU. Misalnya dalam acara tahilan, mapat (empat bulanan orang hamil), nujuh bulan (tujuh bulan orang hamil, dapat ditemukan seperti tumpeng, bakakak ayam, buah-buahan,kemenyan, berbagai minuman, dan lainnya.
Bagi penulis, hal itu adalah tradisi yang tak sepenuhnya harus diberantas, namun bisa tetap dipertahankan selama niat dan tujuannya menjadi sesuai dengan Islam. Dan pada faktanya, alih-alih menghormati hal-hal gaib, metafisik, dan tak nampak oleh kasat mata, justru sesajen dinikmati oleh jamaah yang hadir sebagai sajian.
Dalam pandangan Nahdliyin, sesajen adalah sebentuk penghormatan terhadap semua yang hadir, ikut berdzikir dan berdoa. Penghormatan yang tak hanya berupa kata-kata namun juga jamuan berupa makanan yang disebut sesajen. Tentu dengan harapan, kebahagiaan semua yang hadir dengan jamuan itu adalah amal soleh sekaligus mendorong diijabahnya doa yang dipanjatkan.
7. Adanya Rokok
Ciri adanya Rokok yang terakhir ini mungkin bisa jadi kontroversial dan debatable bagi pembaca. Namun pada faktanya, warga NU adalah orang-orang yang ahli dalam merokok. Meskipun di sisi lain, banyak juga warga NU yang tidak merokok. Tak hanya orang-orang yang dianggap mampu secara ekonomi, merokok sudah menjadi tradisi bagi masyarakat bawah (baca: grassroot) sekalipun.
Misalnya dalam acara maulidan atau tahlilan, tampak rokok dibagikan sebatangan atau dipajang bersama sesajen diwadahi gelas. Pun saat sowan atau berkunjung ke rumah kiai atau sanak saudara, mereka orang-orang NU terbiasa saling memberi rokok dan menawari orang-orang untuk mencicipi rokok. Tradisi lain, warga NU sangat menikmati aktivitas merokok plus ngopi, seperti penulis.
Makanya, para ulama NU tak saklek berani mengharamkan rokok. Sebab sesuatu yang syubhat (tidak jelas hukumnya/remang-remang) tak lantas bisa dengan mudah dianggap haram. Haram tetap haram, Syubhat tetap syubhat.
Believe or no, dalam podcast Dedi Corbuzier terungkap, rokok ampuh menangkal paham radikalisme. Ini juga menjadi ciri penting, bahwa orang-orang radikal hampir dapat dipastikan anti rokok bahkan jijik. Berbeda dengan warga NU, yang anti tidak jijik tidak suka banget juga tidak alias biasa-biasa saja.
Kakek guru, produktif bingits... Mantaph surantaph d...
ReplyDeleteSemangat pak guru...😁
Deleteini siapa ya... kok anonim
Delete