7 Ciri Khas Orang NU; Nomer 7 Masih Kontroversial

Sumber ilustari:Wikipedia, 7 Ciri Khas Orang NU

Setiap organisasi, termasuk organisasi keagamaan, biasanya punya ciri khas. Tak terkecuali dari sisi pendukungnya, anggotanya, atau bahkan basis masyarakat yang berada di bawah naungannya. Begitupun dengan organisasi keagamaan terbesar sedunia, Nahdlatul Ulama. NU punya ciri khas secara keorganisasian, dan tentu juga punya ciri khas orang-orang yang menjadi anggota atau basis masyarakat yang berada di bawah naungannya. Di bawah ini adalah catatan murni penulis tentang 7 ciri yang dapat dijabarkan. Dari ketujuh ciri itu, mungkin nomer terakhir masih dianggap sebagai ciri yang kontroversial atau debatable. 

Pendahuluan

Di Tengah gempuran faham radikalisme keagamaan, NU telah lama hadir sebagai benteng. NU punya peran penting dalam sejarah keberlangsungan bangsa, di satu sisi, dan sejarah islam sunni moderat di sisi lain yang berkembang pesat hingga kini dan bahkan menyebar ke seluruh dunia. 

Dengan slogan Wasathan (baca: Moderat), NU menjadi tameng bagi radikalisme (islam kanan), maupun asketisme (islam kiri). Dengan slogan Hubbul waton (baca: Cinta Tanah Air), NU juga adalah garda depan menangkal perpecahan, sparatisme, dan faham kegamaan yang berniat mendirikan khilafah a la kaum radikal itu. 

Organisasi NU Dipandang Ortodoks

Berdiri sejak tahun 1926, NU sering dipandang ortodoks, kekolot-kolotan, dan udik oleh kelompok 'Islam lain'. Pandangan itu mungkin didasarkan oleh dua hal, pertama budaya sarungan orang NU, kedua keputusan-keputusan orang-orang NU seringkali dipandang lentur dan melekat padanya unsur budaya lokal Nusantara. Yang disebut terakhir sering menjadi perdebatan bahwa NU dianggap terlalu 'mendewakan' budaya ketimbal tekstual ayat atau hadits yang jelas-jelas adalah sumber hukum dalam agama islam. 

Bagi Penulis sendiri, dibanding anggapan sebagai penyimpangan, justru kedekatan NU dengan adat dan tradisi adalah sebentuk penghormatan terhadap budaya, adat, dan tradisi yang menemukan landangan konseptualnya dalam kaidah fiqh " al'adatu muhakkah" bahwa adat bisa menjadi sumber hukum selama adat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sikap NU yang demikian pun telah dicontohkan oleh fakta historis bagaimana para Walisongo menghadirkan Islam di tanah jawa. 

NU Menghargai Perbedaan

Tentu saja, Organisasi NU sangat menghargai perbedaan. Sebagaimana juga organisasi lain seperti organisasi muhammadiyah, NU bahkan mengambil sikap yang dinilai ekstrim sebagai bentuk menghargai perbedaan tersebut. 

Sebut saja satu contoh, Banser sebagai banom NU, adalah pasukan orang NU yang kerapkali membantu mengamankan atau menjaga gereja, rumah ibadah umat kristiani. Tak hanya kiai atau acara-acara keagamaan Islam, rumah ibadah atau kegiatan di luar keagamaan Islam, banser hadir membantu mengamankannya. 

7 Ciri khas Warga NU

Secara tampilan fisik dalam kehidupan sehari-hari, nampaknya memang ada perbedaan antara warga NU dengan warga bukan NU. Perbedaan ini muncul karena cara berpikir orang NU yang dikenal nyeleneh, sederhana, menyembunyikan amal, ikhlas, tidak mau di depan, isitiqamah, dan merakyat. 

Berikut adalah 7 ciri masyarakat NU tersebut: 

1. Lekat dengan sarung. 

Warga NU sering disebut sebagai kaum sarungan. Sarung sendiri, selain dianggap sebagai identitas santri atau kiai ala pesantren NU, ternyata juga adalah identitas masyarakat yang berada dibawah naungan organisasi bintang sembilan tersebut. Bagi warga NU, sarung itu ikon dan identitas. Dua entitas yang dianggap mewakili paham Keislaman dan ke-NU-an. 

Penggunaan sarung disebut identitas ke-NU-an tatkala orang akan mudah membedakannya dengan celana cingkrang dalam penggunaannya ketika beribadah (baca: solat). Puncaknya, salah satu simbol negara tertinggi, Wakil presiden RI, menggunakan sarung dalam banyak kesempatan dan acara-acara kenegaraan sekalipun (KH. M. Ma'ruf Amin, Pen). 

Di samping itu, orang NU menganggap bahwa sarung memiliki banyak manfaat dan kegunaan yang membantu mereka dalam menjalani kehidupan sederhana mereka sehari-hari. Sebut saja salah satunya, gulungan sarung di pinggang dapat dipakai menyimpan amplop atau menyelipkan sebatang rokok yang didapat dalam acara tahlil atau solawatan di tetangga sebelah tanpa takut rokok itu potong atau rusak.

Bagi orang NU, kesakralan sarung dianggap bersanding dengan jubah pada muslim bangsa arab. Para kiai NU yang masih memegang adat itu hingga kini mereka tetap memakai sarung sebagai dobelan ketika mereka juga secara bersamaan memakai jubah. 

2. Lekat dengan Peci Hitam atau Peci Nasional

Ciri ini juga menjadi identitas warga NU selain sarung tadi. Meski mengklaimnya sebagai identitas ke-NU-an masih mengundang debatable, namun penggunaan peci Nasional ini adalah tanda bahwa orang NU menempatkan rasa Nasionalisme terhadap bangsa dan negara lebih tinggi dibanding sikap organisasi selain NU. Tentu saja hal itu bersumber dari asas organisasi NU yang menganggap bahwa Pancasila (baca: NKRI) adalah harga mati bagi dasar negara. 

Penulis masih ingat dengan guyonan atau joke dari salah satu kiai NU di Babakan Ciwaringin Cirebon, KH. Asmawi. Beliau bilang, hati-hati memakai kopiah haji kalau belum haji. Bisa jadi malaikat penjaga ka'bah tidak ridho identitas kopiah haji dipakai oleh orang yang belum haji. 

Joke itu mungkin sepintas terkesan vulgar dan terlalu berani, sebab melibatkan kata malaikat dan kata ridho yang tanpa dasar Al-Qur'an maupun hadits. Namun bagi penulis, bukan point itu yang oleh kiai ingin sampaikan. Pesan yang ingin kiai sampaikan adalah berkaitan dengan adab tatakrama. Bahwa sesuatu yang bukan hak jangan dipakai dengan seenaknya. Bahwa Adab beliau (baca: warga NU) menempatkan jenis kopiah mana saja yang layak dipakai, belum layak, dan tidak layak, menunjukkan tingginya sikap kehati-hatian (ihtiath) dalam berpakaian dan tingginya adab tatakrama dalam berpakaian itu. 

Ada juga kiai yang pandanganya bisa dibilang radik atau mendasar. Bagi kiai yang tak mau disebutkan namanya itu, Haji adalah ibadah. Tak perlu identitas apapun untuk itu, apalagi ditampilkan di publik dengan sebutan haji atau kopiah putih. Baginya, biarlah tetap memakai peci nasional meski sudah haji dan biarkan disebut nama saja tak perlu disebut haji. Sebab baginya, Nabi Muhammad Saw, para sahabat, para Ulama atau para Auliya saja tak pernah disebut begitu, misalnya H. Muhammad, dalam kehidupan sosial kesehariannya. 

"Menjadi Islam bukan berarti harus menjadi Arab. Identitas ke-Indonesia-an tak lalu lebih rendah dari identitas ke-Arab-Arab-an. Sehingga identitas ke-Indonesia-an tak lantas mesti sepenuhnya digeser oleh identitas Islam a la Arab".

3. Berbicara dengan bahasan kaumnya

Dalam hal ini, orang-orang NU seringkali tak perlu menampakkan keIslamannya dari segi bahasa yang dipakai dalam keseharian. Orang NU kadang menghindari penggunaan bahasa arab dalam pergaulan keseharian atau bahkan dalam forum akademik. Hal itu dilakukan agar mempermudah orang lain dalam memahami agama. Melalui bahasa keseharian yang familiar dan ringan, orang NU mampu menampilkan Islam yang genuin dan bukan semata Islam yang ke-arabarab-an dari sisi bahasa. 

Nyaris jarang menemukan orang-orang NU hatta Kiai atau ulamanya pun, menggunakan kata 'ana', 'antum', 'akhi', atau 'ukhti' untuk mengganti kata 'saya', 'anda', 'saudara', dan 'saudari'. Lebih dari itu, cenderung lebih terdengar kata-kata 'kula', 'panjenengan', 'sampeyan', 'abdi' dalam bahasa jawa dan sunda untuk kata-kata tersebut. Dan itu juga dipakai untuk istilah-istilah lain dalam percakapan keseharian warga NU. 

Mungkin bahasa tak lebih dari sekedar bahasa. Namun cara berpikir di atas menandakan betapa orang NU menjunjung tinggi kesederhanaan dalam berbahasa di satu sisi, dan membumikan bahasa (baca: Islam) di sisi lain dengan pemilihan bahasa kaum dibanding bahasa Al-Qur'an dalam percakapan sehari-hari. 

4. Mengadakan tahlilan. 

Setiap kali warga NU wafat selalu diiringi oleh doa bersama yang disebut tahlilan. Tahlilan adalah ritual bacaan tahlil yang dibaca bersama-sama dengan bacaan lainnya oleh banyak orang demi mendoakan arwah orang yang meninggal tersebut. Biasanya dilaksanakan selama 7 hari dan lalu pada hari ke40, ke-100, dan haulan (setahun). 

Dalam kepercayaan pra-islam datang ke Nusantara, orang yang wafat dipercaya masih berada di rumahnya selama 40 hari 40 malam. Semenjak kedatangan Islam dan penyebarannya oleh Walisongo, kepercayaan itu 'digubah' sedemikian rupa, diisi dengan kegiatan amaliyah positif berupa bacaan doa-doa yang disebut tahlilan. 

Nyaris dapat dipastikan, orang-orang NU mengamalkan tradisi tahlilan tersebut. Meski berdasarkan hadits bahwa doa yang utama bagi mayit adalah dari anak cucunya yang soleh, namun orang NU berargumen bahwa masyarakat yang mendoakan si mayit yang hadir dalam acara tahlilan juga atas izin dan permohonan anak cucu mayit untuk mendoakan orangtua mereka. Argumen itu kira-kira sebanding doa anak cucu mayit melalui bantuan para tetangga sanak saudara si mayit. 

5. Membaca Solawat dan memperingati maulid Nabi Muhammad Saw.

Membaca solawat adalah sunah yang jelas landasannya, namun melantunkan solawat dengan berbagai macam versi bahasa, berbagai macam lagu, berbagai macam syair, serta bahkan diiringi musik adalah ciri khas warga NU. Tak ada hari tanpa solawat. Hendak solat pupujian solawat, menimang bayi membaca solawat, menanak nasi dan memasak membaca solawat. Itulah orang NU. 

Mengenai Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Orang NU selalu melakukannya. Memang tak berdasar pada hadits apalagi Al-Qur'an, namun Rasa warga NU dalam menghormati junjungannya begitu besar. Sehingga rasa cinta dan mahabbah mereka itu membludak menjadi konkrit dalam perayaan peringatan tersebut. Adalah wajar sekaligus adab saat para pecinta memuji dan memperingati yang dicintainya dengan meriah sembari memungut jejak-jejak teladan terus menerus yang bermanfaat bagi kehidupan dari sang Rasul Nabi Muhammad Saw. 

6. Adanya Sesajen

Sesajen adalah pelbagai makanan atau sejenisnya yang disediakan untuk menghormati hal-hal gaib. Itu pengertian yang diambil dari kepercayaan atau keyakinan sebelum datangnya Islam. Namun dalam perkembangannya, Walisongo tak lantas menghilangkan tradisi sesajen, tapi memolesnya dengan cara islam. 

Sesajen dapat dengan mudah ditemukan di acara-acara orang-orang NU. Misalnya dalam acara tahilan, mapat (empat bulanan orang hamil), nujuh bulan (tujuh bulan orang hamil, dapat ditemukan seperti tumpeng, bakakak ayam, buah-buahan,kemenyan, berbagai minuman, dan lainnya. 

Bagi penulis, hal itu adalah tradisi yang tak sepenuhnya harus diberantas, namun bisa tetap dipertahankan selama niat dan tujuannya menjadi sesuai dengan Islam. Dan pada faktanya, alih-alih menghormati hal-hal gaib, metafisik, dan tak nampak oleh kasat mata, justru sesajen dinikmati oleh jamaah yang hadir sebagai sajian. 

Dalam pandangan Nahdliyin, sesajen adalah sebentuk penghormatan terhadap semua yang hadir, ikut berdzikir dan berdoa. Penghormatan yang tak hanya berupa kata-kata namun juga jamuan berupa makanan yang disebut sesajen. Tentu dengan harapan, kebahagiaan semua yang hadir dengan jamuan itu adalah amal soleh sekaligus mendorong diijabahnya doa yang dipanjatkan. 

7. Adanya Rokok

Ciri adanya Rokok yang terakhir ini mungkin bisa jadi kontroversial dan debatable bagi pembaca. Namun pada faktanya, warga NU adalah orang-orang yang ahli dalam merokok. Meskipun di sisi lain, banyak juga warga NU yang tidak merokok. Tak hanya orang-orang yang dianggap mampu secara ekonomi, merokok sudah menjadi tradisi bagi masyarakat bawah (baca: grassroot) sekalipun. 

Misalnya dalam acara maulidan atau tahlilan, tampak rokok dibagikan sebatangan atau dipajang bersama sesajen diwadahi gelas. Pun saat sowan atau berkunjung ke rumah kiai atau sanak saudara, mereka orang-orang NU terbiasa saling memberi rokok dan menawari orang-orang untuk mencicipi rokok. Tradisi lain, warga NU sangat menikmati aktivitas merokok plus ngopi, seperti penulis. 

Makanya, para ulama NU tak saklek berani mengharamkan rokok. Sebab sesuatu yang syubhat (tidak jelas hukumnya/remang-remang) tak lantas bisa dengan mudah dianggap haram. Haram tetap haram, Syubhat tetap syubhat. 

Believe or no, dalam podcast Dedi Corbuzier terungkap, rokok ampuh menangkal paham radikalisme. Ini juga menjadi ciri penting, bahwa orang-orang radikal hampir dapat dipastikan anti rokok bahkan jijik. Berbeda dengan warga NU, yang anti tidak jijik tidak suka banget juga tidak alias biasa-biasa saja. 


3 comments for "7 Ciri Khas Orang NU; Nomer 7 Masih Kontroversial"

  1. Kakek guru, produktif bingits... Mantaph surantaph d...

    ReplyDelete

Terimakasih Telah Berkunjung Dan Meninggalkan Komentar

Followers